Rabu, 01 Juni 2011

analisis larangan minta cerai

1. Variasi Sanad Hadis Larangan Isteri Meminta Cerai

a. Sanad Pertama

حَدَّثَنَا أَحْمَدُ بْنُ اْلأَزْهَرِ حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ اْلفَضْلِ عَنْ حَمَّادِ بْنِ زَيْدٍ عَنْ أَيُّوْبٍ عَنْ أَبِي قِلاَبَةَ عَنْ أَبِي أَسْمَاءَ عَنْ ثَوْبَانَ قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَيُّمَا امْرَأَةٍ سَأَلَتْ زَوْجَهَا الطَّلاَقَ فِي غَيْرِ مَا بَأْسٍ فَحَرَامٌ عَلَيْهَا رَائِحَةُ الْجَنَّةِ

Artinya:

Ahmad ibn al-Azhar telah menceritakan kepada kami (ibn Mâjah), telah bercerita kepada kami, Muhammad ibn Fadhl, dari Hammâd ibn Zayd, dari Ayyûb dari Abi Qilâbah dari Abî Asmâ dari Tsaubân, dia berkata, Rasulullah saw. pernah bersabda, “Siapapun perempuan (baca: isteri) yang menuntut cerai dari suaminya tanpa alasan yang benar, maka haram baginya bau wanginya surga”.

b. Sanad kedua

حَدَّثَنَا أَبُوْ كُرَيْبٍ حَدَّثَنَا مُزَاحِمُ بْنُ ذَوَّادِ بْنِ عُلْبَةَ عَنْ أَبِيْهِ عَنْ لَيْثٍ عَنْ أَبِي الْخَطَّابِ عَنْ أَبِي زُرْعَةَ عَنْ أَبِي إِدْرِيْسَ عَنْ ثَوْبَانَ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ الْمُخْتَلِعَاتُ هُنُّ الْمُنَافِقَات

Artinya:

Dari ‘Uqbah ibn ‘Âmir berkata, Rasulullah Saw. Bersabda, “Perempuan-perempuan yang melakukan khulû’ adalah perempuan-perempuan munafik”. (HR. Imâm al-Tirmidzi).

2. Kritik Sanad (al-Naqd al-Khariji)

Berikut ini biografi dari para perawi hadits dan penilaian dari para ulama al-jarh wa al-ta’dil:

1. Ibn Najah (209-273 H)

Beliau berguru kepada Abu Bakr ibn Abi Syaibat Muhammad ibn Namir ibn Ammar. Sedangkan muridnya adalah Abu al-Hasan al-Qaththan, Sulaiman ibn Yazid al-Qazwini. Ulama menilai terhadap ibn Majah, dikemukakan oleh Abu Ya’lâ al-Khalili al-Qazwini, beliau ialah tsiqoh, shadiq, hujjah.

2. Ahmad ibn al-Azhar ibn Mani’ (w. 203 H)

Nama lengkapnya Ahmad ibn al-Azhar ibn Mani’ termasuk golongan thabaqah al-wustho dari tabi’ al-tabi’in. Beliau berguru kapada Adam ibn Abi Iyas, Ruh ibn Abi Ubadah ibn ‘Ali ibn Nafi. Adapun muridnya adalah ibn Majah. Penilaian para ulama al-jarh wa al-ta’dil terhadap Ahmad ibn Azhar antara lain dikemukakan oleh:

a. Al-Dzahabi min ahl al-Syidq wa al amanah

b. M. ibn ‘Ali al Marwazi: hasan al-hadits

c. Shahih Jazarah: shaduq

d. Abu Hatim al-Razi: syaduq

e. Al-Nasa’i: la ba’sa bih

f. Ibn Hibban: dzakarahu fi al-tsiqal

Penilaian ulama kritikus al-jarh wa al-ta’dil tersebut tampak bahwa tidak satu pun diantara mereka yang men- jarh (menganggap cacat) Ahmad ibn Al-Azhar.

3. Muhammad ibn Fadhl (w. 224 H)

Nama lengkapnya Abu Nu’man Muhammad ibn Fadhl. Beliau berguru antara lain kepada Hammad ibn Yazid ibn Dirham, Hammad ibn Salamah ibn Dinar, dll. Penilaian para ulama al-jarh wa al-ta’dil terhadap Muhammad ibn fadhl antara lain dikemukakan oleh:

a. Al-Dzuhabi: tsiqah

b. Muhammad ibn Ali al-Marwazi: hasan al-hadits

c. Al-Ijli: tsiqah

d. Abu Hatim al-Razi: tsiqah ikhtalatha fi akhir umrih

e. Al-Nasa’: ahad tsiqoh qabla an yakhtalith

f. Al-Bukhari: taghayyara fi akhir umrih

Para ulama menyimpulkan bahwa nitbah (status) Muhammad ibn fadhl adalah tsiqah tsabat, tetapi taghayyara fi akhir umrih (di akhir hayatnya beliau sering keliru dalam ingatannya).

4. Hammad ibn Zayd (w. 179)

Nama lengkapnya Hammad ibnZaid ibn Dirham, termasuk thabaqah wustha dari tabi al-tabi’in. wafat tahun 179 H.

Beliau berguru antara lain kepada Itgaq ibn Suwayd ibn Habirah, Anas ibn Sirin, Badil ibn Naisarah, dll. Murid-muridnya antara lain; Ahmad ibn Ubadah ibn Musa, Azhar ibn Marwan, dll. Penilaian para ulama al-jarh wa al-ta’dil terhadap Hammad ibn Zayd antara lain dikemukakan oleh:

a. Al-Dzahabi: yahfazh haditsah kalma

b. Ahmad ibn Hanbal: huwa min aimmah al-muslimin

c. Yahya ibn yahya: ma ra’tu ahfazh minh

d. Muhammad ibn Sa’d: tsiqah, tsabat hujjah

e. Muhammad al-khalal: tsiqah muttafaq ‘alaih

f. Ibn Hibban: dzakarahu fi al-tsiqah

Para ulama menyimpulkan bahwa beliau adalah tsiqah tsabat.

5. Ayyub (w. 131 H)

Nama lengkapnya adalah Ayyub ibn Abi Tamimah Kisan. Beliau termasuk thabaqah shughra dari tabi’in, bernasab kepada al-Sakhthiyani. Kuniyah-nya Abu Bakr. Tinggal dan wafat di Bashrah pada tahun 131 H. Beliau berguru antara lain kepada al-Hasan ibn Abi Hasan Yasar, Hafzhah ibn Sirin, dll. Murid-muridnya antara lain: Ismail ibn Ibrahim ibn Muqsim, Jarir Hazim ibn Zayd, dll. Penilaian para ulama al-jarh wa al-ta’dil terhadap Ayyub antara lain dikemukakan oleh:

a. Abu Hatim Al-Razi: tsiqah la yusa ‘an mitslih

b. Yahya ibn Ma’in: tsiqah

c. Al-Nasa’i: tsiqah, tsabat

d. Yahya ibn Ziad: tsiqah, tsabat, hujjah, ‘adl

Para ulama kemudian menyimpulkan bahwa Ayyub termasuk tingkatan perawi yang tsiqah, tsabat, hujjah.

6. Abu Qilabah (w. 104 H)

Nama lengkapnya Abu Qilabah ‘Abdullah ibn Zayd ibn ‘Amr ibn Nabil. Beliau termasuk thabaqah wustha min al-tabi’in. nasabnya pada al-Jarami di Bashrah dan wafat di Syam pada tahun 104 H. Beliau berguru pada Anas ibn Malik ibn Nadhr ibn Dham dham ibn Zayd ibn Haram, Tsabit ibn Dhahhak ibn Khalifah. Murid-muridnya antara lain: Ayyub ibn Abi Tamimah Kisan, Syaiban ibn ‘Abd al-Rahman, dll.

Penilaian para ulama al-jarh wa al-ta’dil terhadap Abu Qilabah antara lain dikemukakan oleh:

a. Ibn Sirin: tsiqah

b. Muhammad ibn Sa’d: tsiqah

c. Ibn Kharrasy: tsiqah

d. Al-Ijli: tsiqah

e. Abu Halim al-Razi: tsiqah la yu’raf lah tadlis

7. Abu Asma

Nama lengkapnya adalah Amr ibn Mursyid Abu Asma’. Beliau termasuk thabaqah wustha min al-tabi’in. nasabnya pada al-Rahb al-Dimasyqi. Beliau tinggal di Syam dan wafat di sana. Beliau berguru kepada Tsaubah Bujaddad. Sedang murid-muridnya antara lain: Abu Qulabah Abdullah ibn Zayd ibn Amr ibn Nabil, Makhul, Yahya ibn Harits. Penilaian para ulama al-jarh wa al-ta’dil antara lain dikemukakan oleh:

a. Al-Ijli: tsiqah

b. Ibn Hibban: tsiqah

8. Tsaubah Bujaddan

Beliau tinggal di Syam dan wafat di Hulwan tahun 14 H. beliau termasuk kalangan sahabat yang bernasab pada al-Hasyimi. Gurunya adalah Rasulullah. Para ulama menyatakan bahwa beliau termasuk dari sahabat yang mempunyai tingkat keadilan dank e-tsiqah-an yang paling tinggi. Murid-muridnya antara lain: Jubayr ibn Nafi’ ibn Malik, Rasyid ibn Sa’ad, Abu Asma’ (Amr ibn Murtsid), dll.

3. Analisis Hadits Larangan Minta Cerai

Dari data yang diperoleh dari CD Mawsu’ah al-Hadits al-Syarif tersebut tampak bahwa para perawi dalam sanad pertama tersebut, semuanya ada pertemuan antara guru dan murid. Hal itu dapat dilihat dari: 1) Data tahun wafat dari masing-masing perawi dan kemungkinan pertemuan di antara guru dan murid; 2) Data kesinambungan (guru-murid) dalam masing-masing rawi, sebagaimana penjelasan para ulama ahli hadits mengenai siapa saja murid dan guru dari masing-masing perawi.

Tetapi dari sisi kualitas hafalannya ada sebagian rawi yang problematic, misal Muhammad ibn Fadhl, dinilai oleh para ulama ahlu al-jarh wa al-ta’dil termasuk orang yang mengalami ikhtilaf (kekeliruan dalam hafalan) di akhir umurnya. Hal ini menyebabkan kualitas haditsnya dilihat dari sisi sanad menjadi tidak sahih, melainkan hanya menduduki sebagai hadits hasan. Jika ditinjau dari sisi kualitas kehasanannya, hadits tersebut ialah hasan lidzatihi.

4. Pemahaman Matan Hadits

Ditinjau dari aspek struktur bahasa maupun logika, matan hadits tersebut tidak ada persoalan, karena memang tidak ada kerancuan redaksi. Selain itu masih banyak hadits yang shahih mengenai larangan seorang isteri meminta cerai. Hanya saja yang menjadi persoalan adalah apakah larangan itu sifatnya haram/makruh? Apakah hadits tersebut tidak bertentangan dengan (ta’arudh) dengan hadits yang membolehkan perempuan menuntut hak khulu’.larangan isteri meminta cerai itu hanya berlaku jika permintaan cerai itu dilakukan tanpa ada alasan yang dibenarkan syar’i. Seperti penegasan Nabi dalam hadits tersebut yaitu; min ghayri ma ba’sir (permohonan cerai tanpa alasan).

Alasan-alasan meminta cerai yang dapat dibenarkan itu misalnya suami tidak mau memberi nafkah zhahir atau tidak mampu memberi nafkah batin karena impoten, suami suka selingkuh, pemabuk, penjudi. Jadi jika ada alasan syar’i maka isteri diberikan hak untuk meminta cerai (khulu’) kepada suaminya, dan sebaiknya difikirkan secara matang, jangan disertai emosi karena akan merugikan dirinya sendiri. Jika seorang suami menolak atas tuntutan isterinya, dalam kasus seperti ini yang akan mengadili adalah qadhi.

Adanya khulu’ (cerai tebus) ini bentuk penghargaan Islam kepada perempuan yang dulu pada masa jahiliyah perempuan tidak mempunyai hak menuntut cerai kepada suami terkecuali para perempuan tertentu (terhormat). Kemudian Islam memberikan hak khulu’ kepada semua perempuan tanpa membedakan status sosial. Bentuk kebolehan khulu’ ini disebutkan dalam al-Qur’an surat An-Nisa’: 299. Artinya: “Jika kamu khawatir keduanya (suami-isteri) tidak dapat menjalankan hukum-hukum Allah, maka tidak ada dosa atas keduanya tentang pembayaran yang diberikan interi untuk menebus dirinya”.

Nabi SAW bersabda, “Fi ghayri ma ba’s bihi (tanpa alasan)”. Dalam syarahnya dijelaskan bahwa maksud al-ba’s adalah al-dharar wa al-syiddah anahi al-jauha ila su’al al-mufaraqah, yaitu bahaya atau kepayahan yang dapat menyebabkan istri ingin meminta cerai; ini artinya jika istri punya alasan tertentu yang dibenarkan syari’at, maka boleh meminta cerai. Sebab pernikahan merupakan sebuah kontrak bila salah satu tidak merasa cocok dan tidak bisa disatukan kembali, Islam memberi solusi cara bercerai.

Pada dasarnya hadits-hadits tentang larangan isteri meminta cerai kepada suaminya atau sebaliknya haruslah difahami. bahwasannya Rasulullah ingin mendidik umatnya agar tidak sembarangan menjatuhkan talak.

1. Wajib, seperti kasus perceraian seorang muli (seorang yang melakukan sumpah ila) setelah menunggu 4 bulan, dan perceraian yang diajukan kedua orang pihak yang tidak mungkin lagi melakukan rekonsliasi.

2. Mandub, seperti kasus seorang yang tidak mampu memenuhi kewajiban-kewajiban/isteri selingkuh.

3. Haram, misalnya talak bid’i yaitu menjatuhkan talak pada waktu isteri sedang haid/ waktu suci yang telah dijimak sebelumnya.

4. Makruh, yaitu menjatuhkan talak di selain dalam kondisi yang tiga tersebut di atas.

Sementara itu golongan Hanafiyah dan Hanabilah, pada dasarnya talak itu dilarang karena termasuk mengkufuri nikmat pernikahan. Hal ini didasarkan pada hadits: “la’ana al-Allah kulla midwaq wa mithlaq” (Allah melaknat orang yang suka mencicipi dan suka menceraikan). Cerai dibolehkan dalam konteks hajat/ darurat.


KESIMPULAN

Hadits tentang larangan perempuan (isteri) menuntut cerai yang penulis teliti pada sanad pertama adalah hadis hasan, sebab tidak memenuhi kriteria syarat hadis sahih. ada perawi yang mengalami ikhtilât di akhir umurnya. Tetapi karena hadis tersebut didukung oleh hadis-hadis lain yang sahih, seperti riwayat Imâm Ahmad, Imâm Dârimî, Imâm al-Tirmidzî, maka derajatnya bisa naik menjadi shahîh li ghayrih.

Hadis tersebut tidak bertentangan dengan hadis yang membolehkan khulu’ (menuntut cerai tebus), karena kedua hadis yang tampak ta’arudh dapat dikompromikan. Bentuk komprominya adalah bahwa larangan itu berlaku dalam konteks ketika isteri tidak memiliki alasan syar’i untuk menuntut cerai. Dalam kondisi normal, maka hadis larangan isteri menuntut cerai harus dipahami dalam konteks edukatif dari Nabi saw., Setelah penulis melakukan eksplorasi, ternyata juga banyak hadis yang secara tersirat melarang suami menjatuhkan talak. Ini artinya, tuduhan diskriminatif tersebut tidak benar.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar