Tentu banyak di antara kita yang sudah menghadiri upacara akad nikah calon atau pengantin |
baru dan sekaligus mengikuti khotbah nikah/nasihat perkawinan yang disampaikan seseorang: |
kiai, ustadz, atau pemimpin Islam yang dipilih pihak keluarga yang akan mengawinkan |
putra-putrinya. |
Saya sendiri beberapa kali mengikuti khotbah itu dalam suasana serbakhusyuk dan terasa |
sakral. Umumnya, khotbah yang disiapkan dengan baik punya dampak psikologis yang kuat, |
tidak saja atas diri calon pengantin yang akan mengakhiri masa lajangnya, tetapi juga atas diri |
para undangan yang mengikutinya dengan tekun. |
Profesor Suyanto yang kini menjabat sebagai dirjen Manajemen Pendidikan Dasar dan |
Menengah Departemen Pendidikan Nasional lebih dikenal sebagai tokoh pendidik, bukan |
sebagai kiai atau ustadz yang biasa berdakwah di tengah-tengah kumpulan orang banyak. Jika |
menyampaikan makalah atau berceramah tentang pendidikan umum atau pendidikan Islam, |
Suyanto memang sudah terbiasa. Tetapi, memasuki wilayah khotbah nikah bagi putri-putra |
temannya baru sekali dilakukannya di Masjid Agung Kota Gede, Yogyakarta, 14 Februari 2009. |
Saya dan Bung Nasrullah (seorang caleg DPR pusat sebuah partai) diminta menjadi saksi |
dalam upacara akad nikah itu. |
Dalam perkiraan semula, khotbah Suyanto pasti bagus dan lincah, cara itu memang gayanya |
karena ia paham psikologi anak remaja. Ternyata khotbah itu tidak saja bagus, tetapi sangat |
menyentuh relung hati manusia yang terdalam. Saya yang lama belajar di madrasah belum |
tentu bisa menyiapkan khotbah seperti itu. Khotbah Suyanto memakai bahasa hati. Inilah |
kutipan yang agak panjang dalam kalimat Suyanto untuk calon pengantin putri: |
Ananda! Bila kelak biduk rumah tangga bertubrukan dengan benteng karang kehidupan, bila |
impian remaja telah berganti menjadi kenyataan yang pahit, bila bukit-bukit harapan digoncang |
gempa cobaan, segenap keluarga ingin melihat Ananda teguh di samping suami. Istri atau |
suami akan tetap tersenyum walaupun langit makin mendung. Pada saat seperti itu, tidak ada |
yang paling menyejukkan suami selain melihat pemandangan yang mengharukan. Ia bangun di |
malam hari. Didapatinya Ananda tidak di sampingnya. Kemudian, ia dengar suara wanita |
bersujud, suaranya gemetar, ia sedang memohon agar Allah menganugerahkan pertolongan |
bagi suaminya. Pada saat seperti itu, suami Ananda akan menegakkan tangan ke langit, |
bersamaan dengan tetesan air matanya. Ia berdoa: Ya Allah! Kurniakan kepada kami istri dan |
1 / 2 |
KHOTBAH NIKAH PROFESOR SUYANTO |
Tuesday, 17 February 2009 05:34 |
keturunan yang menentramkan hati kami dan jadikanlah kami penghulu orang-orang yang |
takwa |
. |
Kalimat ini punya daya jangkau spiritual yang jauh, setidaknya bagi saya pribadi. Siapa yang |
tak akan terharu membaca kalimat yang dengan puitis menggambarkan sebuah perkawinan |
yang tetap kokoh dan utuh di tengah gempuran cobaan hidup yang bisa menerjang setiap |
rumah tangga siapa saja di antara kita. Saat kalimat itu terucap, saya yang berdekatan duduk |
dengan Profesor Suyanto, tidak bisa lagi menahan air mata yang mengalir secara spontan. Tisu |
saya ambil, pura-pura menyeka keringat di kening dan di leher, padahal sasaran utamanya |
adalah mengeringkan air mata yang sedang meleleh. Seolah kalimat itu tertuju kepada diri saya |
yang juga pernah mengalami banyak cobaan. Itulah sebabnya air mata meleleh tak |
tertahankan. |
Khotbah itu bergerak lebih jauh. Suyanto berbicara tentang posisi perkawinan dalam Islam. |
Dengan mengutip Alquran dalam formula |
mistaqan ghalidza |
(perjanjian yang kuat), Suyanto |
menyandingkan pernikahan itu dengan janji setia para rasul kepada Allah dan perintah |
terhadap Bani Israil agar bersumpah di hadapan Allah dalam ungkapan serupa (lihat Surah |
Annisa: 21 & 154; Al-Ahzab: 7). |
Berdasarkan pada ketentuan ayat-ayat yang terdapat pada tiga tempat dalam Kitab Suci, |
ternyata perkawinan itu adalah sebuah urusan yang dahsyat. Tidak boleh dimain-mainkan |
sebagaimana sebagian kita punya hobi untuk itu, termasuk sebagian kiai dan sebagian artis: |
sebentar kawin, sebentar cerai, seperti ganti pakaian saja. Mungkin di kalangan selebritas, |
sebagian perceraian dipicu oleh panas sesangarnya suasana perkotaan yang sarat gosip dan |
persaingan, sementara di pedesaan, himpitan kemiskinan yang berat sebagai alasan |
utamanya. |
Saya tidak tahu, apakah Profesor Suyanto masih bersedia menyampaikan khotbah nikah untuk |
kali kedua dan seterusnya. Khotbah yang dianyam dengan bahasa hati sungguh amat |
diperlukan dalam suasana bencana rumah tangga yang menimpa sebagian anggota |
masyarakat kita. Selamat Profesor Suyanto dengan tugas baru. |