Kamis, 07 Juli 2011

khotbah nikah profesor suryanto

Tentu banyak di antara kita yang sudah menghadiri upacara akad nikah calon atau pengantin

baru dan sekaligus mengikuti khotbah nikah/nasihat perkawinan yang disampaikan seseorang:

kiai, ustadz, atau pemimpin Islam yang dipilih pihak keluarga yang akan mengawinkan

putra-putrinya.

Saya sendiri beberapa kali mengikuti khotbah itu dalam suasana serbakhusyuk dan terasa

sakral. Umumnya, khotbah yang disiapkan dengan baik punya dampak psikologis yang kuat,

tidak saja atas diri calon pengantin yang akan mengakhiri masa lajangnya, tetapi juga atas diri

para undangan yang mengikutinya dengan tekun.

Profesor Suyanto yang kini menjabat sebagai dirjen Manajemen Pendidikan Dasar dan

Menengah Departemen Pendidikan Nasional lebih dikenal sebagai tokoh pendidik, bukan

sebagai kiai atau ustadz yang biasa berdakwah di tengah-tengah kumpulan orang banyak. Jika

menyampaikan makalah atau berceramah tentang pendidikan umum atau pendidikan Islam,

Suyanto memang sudah terbiasa. Tetapi, memasuki wilayah khotbah nikah bagi putri-putra

temannya baru sekali dilakukannya di Masjid Agung Kota Gede, Yogyakarta, 14 Februari 2009.

Saya dan Bung Nasrullah (seorang caleg DPR pusat sebuah partai) diminta menjadi saksi

dalam upacara akad nikah itu.

Dalam perkiraan semula, khotbah Suyanto pasti bagus dan lincah, cara itu memang gayanya

karena ia paham psikologi anak remaja. Ternyata khotbah itu tidak saja bagus, tetapi sangat

menyentuh relung hati manusia yang terdalam. Saya yang lama belajar di madrasah belum

tentu bisa menyiapkan khotbah seperti itu. Khotbah Suyanto memakai bahasa hati. Inilah

kutipan yang agak panjang dalam kalimat Suyanto untuk calon pengantin putri:

Ananda! Bila kelak biduk rumah tangga bertubrukan dengan benteng karang kehidupan, bila

impian remaja telah berganti menjadi kenyataan yang pahit, bila bukit-bukit harapan digoncang

gempa cobaan, segenap keluarga ingin melihat Ananda teguh di samping suami. Istri atau

suami akan tetap tersenyum walaupun langit makin mendung. Pada saat seperti itu, tidak ada

yang paling menyejukkan suami selain melihat pemandangan yang mengharukan. Ia bangun di

malam hari. Didapatinya Ananda tidak di sampingnya. Kemudian, ia dengar suara wanita

bersujud, suaranya gemetar, ia sedang memohon agar Allah menganugerahkan pertolongan

bagi suaminya. Pada saat seperti itu, suami Ananda akan menegakkan tangan ke langit,

bersamaan dengan tetesan air matanya. Ia berdoa: Ya Allah! Kurniakan kepada kami istri dan

1 / 2


KHOTBAH NIKAH PROFESOR SUYANTO

Tuesday, 17 February 2009 05:34

keturunan yang menentramkan hati kami dan jadikanlah kami penghulu orang-orang yang

takwa

.

Kalimat ini punya daya jangkau spiritual yang jauh, setidaknya bagi saya pribadi. Siapa yang

tak akan terharu membaca kalimat yang dengan puitis menggambarkan sebuah perkawinan

yang tetap kokoh dan utuh di tengah gempuran cobaan hidup yang bisa menerjang setiap

rumah tangga siapa saja di antara kita. Saat kalimat itu terucap, saya yang berdekatan duduk

dengan Profesor Suyanto, tidak bisa lagi menahan air mata yang mengalir secara spontan. Tisu

saya ambil, pura-pura menyeka keringat di kening dan di leher, padahal sasaran utamanya

adalah mengeringkan air mata yang sedang meleleh. Seolah kalimat itu tertuju kepada diri saya

yang juga pernah mengalami banyak cobaan. Itulah sebabnya air mata meleleh tak

tertahankan.

Khotbah itu bergerak lebih jauh. Suyanto berbicara tentang posisi perkawinan dalam Islam.

Dengan mengutip Alquran dalam formula

mistaqan ghalidza

(perjanjian yang kuat), Suyanto

menyandingkan pernikahan itu dengan janji setia para rasul kepada Allah dan perintah

terhadap Bani Israil agar bersumpah di hadapan Allah dalam ungkapan serupa (lihat Surah

Annisa: 21 & 154; Al-Ahzab: 7).

Berdasarkan pada ketentuan ayat-ayat yang terdapat pada tiga tempat dalam Kitab Suci,

ternyata perkawinan itu adalah sebuah urusan yang dahsyat. Tidak boleh dimain-mainkan

sebagaimana sebagian kita punya hobi untuk itu, termasuk sebagian kiai dan sebagian artis:

sebentar kawin, sebentar cerai, seperti ganti pakaian saja. Mungkin di kalangan selebritas,

sebagian perceraian dipicu oleh panas sesangarnya suasana perkotaan yang sarat gosip dan

persaingan, sementara di pedesaan, himpitan kemiskinan yang berat sebagai alasan

utamanya.

Saya tidak tahu, apakah Profesor Suyanto masih bersedia menyampaikan khotbah nikah untuk

kali kedua dan seterusnya. Khotbah yang dianyam dengan bahasa hati sungguh amat

diperlukan dalam suasana bencana rumah tangga yang menimpa sebagian anggota

masyarakat kita. Selamat Profesor Suyanto dengan tugas baru.